ॐ नमः शिवाय

Sejarah Candi Singhasari

Jumat, 03 Januari 2014

1. Fungsi Candi Singosari dari sisi Arsitektur berdasar Konsep Meru
Banyak yang beranggapan bahwa candi Singosari berfungsi sebagai makam raja Kertanegara, yaitu raja terakhir kerajaan Singasari. Keterangan ini didapat dari hasil wawancara yang didengar di lapangan baik berasal dari penduduk sekitar, juru pelihara ketika menerangkan kepada pengunjung candi, para pengunjung candi, serta para guru sejarah yang melakukan pembelajaran di sekolah, yang semuanya itu diduga bersumber pada berita-berita purbakala dari jaman Belanda serta teori-teori tentang fungsi candi. Pengaruh tentang fungsi candi sebagai makam dimasyarakat umum maupun di kalangan masyarakat ilmu sejarah memang sangat besar. Setidaknya sampai sejauh ini anggapan tersebut tetap melekat dalam pemikiran mereka.
Sedikit kembali kebelakang, sumber dari anggapan candi sebagi makam muncul ketika Raffles pada tahun 1814 melakukan pencatatan dan penelitian tentang candi di Jawa, yang dianggapnya bahwa candi adalah cungkup atau makam atas dasar pengetahuannya yang ia peroleh dari keterangan penduduk setempat waktu itu (Soekmono, 1974:1-2). Pendapat tersebut jauh sesudahnya banyak mendapat dukungan dengan ditemukannya bukti-bukti yang mendukung di lapangan. Pada akhirnya lebih dipertegas lagi oleh Stutteirheim pada tahun 1931 atas dasar penelitiannya, yang menyebutkan bahwa candi merupakan bangunan pemakaman atau tempat untuk meletakkan abu jenasah raja, keterangan Stutteirheim itu adalah sebagai berikut:
Dahulu apabila raja meninggal dunia, menurut kebiasaan dalam agama Hindu jenasahnya dibakar, dan abunya dilarung ke sungai atau ke laut, atau ditebarkan di penjuru mata angin, dan sisanya ditaruh dalam sebuah peti batu beserta benda bekal kubur lainnya. Setelah itu dibuatkan tempat pendharmaannya, yaitu sebuah bangunan peringatan sebagai tempat pemujaan bagi arwahnya, pada umumnya masyarakat Jawa dikemudian hari menyebutnya Candi. Di dalam candi tersebut, tepatnya di bawah arca pemujaan di ruang utama, dibuatlah sumuran guna meletakkan peti abu jenasah tersebut (dalam Soekmono, 1974:16-17).Dari dasar teori tersebut muncul sebuah pemahaman di kalangan masyarakat umum bahwa semua bangunan candi adalah makam raja, baik dalam arti ditanam abu jenasahnya bahkan ditanam jasadnya. Dengan tanpa pengecualian semacam itu dengan sendirinya candi Singosari dikatakan juga sebagai makam raja Kertanegara.
Dapat pula diduga bahwa candi Singosari dihubungkan dengan raja Kertanegara, tetapi sebagai makam atau tempat penyimpanan abu jenasahnya perlu diteliti kembali keberadaannya, mengingat dalam kenyataannya candi Singosari tidak memiliki sumuran serta tidak ditemukannya peti batu penyimpan peripih. Guna menelaah lebih lanjut permasalahan fungsi bangunan candi Singosari sebagai tempat pemakaman atau bukan, maka perlu diketahui bagaimana sistem perawatan mayat pada jaman Hindu di Jawa atas dasar kepercayaan atau tradisi keagamaannya. Untuk itu diperlukan metode etnoarkeologi sebagai suatu cara mencari dan menggali data sejenis melalui informasi di lapangan terhadap masyarakat masa sekarang yang kepercayaan serta tradisinya dianggap masih sama dan relevan.
Sepertinya tradisi tentang perawatan mayat oleh masyarakat Hindu sampai sekarang masih dapat kita lihat pada masyarakat Hindu Bali dan Tengger. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh umat Hindu di daerah setempat, diperoleh keterangan tentang upacara perawatan mayat, mulai dari upacara ngaben (pembakaran mayat) sampai kepada upacara larung. Berikut petikan keterangan yang diberikan oleh Ida Bagus Bajera (2008), Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia untuk Malang Raya:
“Ngaben intinya untuk membersihkan manusia yang telah meninggal dari sifat kotor. Dimana tubuh manusia itu terdiri dari 5 unsur yang disebut Pancamahabhuta. Setelah ngaben, sisa-sisa jenasah yang berupa abu dimasukkan dalam sebuah bejana, dan kemudian secara keseluruhan dilarung ke laut atau sungai. Tidak ada sedikitpun sisa yang ditaruh di rumah, apalagi ditempatkan di dalam pura, karena sifat pura yang suci. Setelah beberapa hari, minimal 42 hari dan seterusnya, barulah keluarga melakukan upacara menyongsong roh untuk ditempatkan di suatu tempat yang bernama sanggar Kamulan atau Plangkiran. Simbol tempat roh di Kamulan atau Plangkiran itu disebut Daksina atau Pejati, yaitu sebuah bejana yang terbuat dari daun Tal dibentuk bundar, dan isinya pun berupa logam-logam serta barang-barang yang bundar seperti kelapa, telor, dan biji-bijian sebagai lambang dari dunia”
Dari keterangan di atas berkenaan dengan sisa jenasah yaitu abu, tidak pernah ditempatkan di dalam rumah, apalagi di pura. Sebagai ganti tempat arwah leluhur dibuatlah Daksina atau Pejati. Daksina atau Pejati itu bentuknya semacam tabung atau keranjang yang terbuat dari daun Tal (ron Tal). Isi dari Daksina atau Pejati adalah benda-benda yang sifatnya bulat/bundar seperti kelapa yang dihilangkan sabutnya tetapi disisakan pada mata tunas, telor, serta biji-bijian. Dalam tradisi candi benda-benda semacam itu dapat disamakan dengan peti batu (Garbhapatra) yang berisi peripih.
Kesamaan tradisi dapat dilihat pula pada upacara perawatan mayat masyarakat Hindu Tengger. Di sana disebutkan “apabila orang meninggal dunia, jenasahnya dikubur. Selang beberapa hari, antara 44 hari, 100 hari, 1 tahun, bahkan 1000 harinya, mereka melakukan upacara mengangkat roh yang disebut entas-entas”(Ismuhendro, 1989/1999:16-17). Dalam upacara entas-entas tersebut tidak terlihat aktivitas membongkar jenasah dikuburan untuk kemudian diambil dan sebagian sisanya diletakkan di dalam bejana yang kemudian ditempatkan pada bangunan suci atau rumah. Inti dari upacara entas-entas adalah pembuatan ‘Petra’, yaitu “lambang jasmaniah dari orang yang meninggal yang menyerupai boneka terbuat dari daun-daunan dan bunga-bunga. Petra tersebut dibakar di pedanyangan (tempat khusus untuk pembakaran). Setelah menjadi abu selesailah sudah kewajiban keluarga untuk memuliakan roh leluhur kembali ke alam kedewaannya’ (Ismuhendro, 1998/1999:21).
Dari berbagai pengamatan data pola perawatan mayat di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan suci yang bernama Pura atau Meru, atau tempat khusus di rumah yang bernama Sanggar Kamulan atau Plangkiran, tidak pernah digunakan sebagai tempat menyimpan sisa abu jenasah orang yang telah meninggal yang diletakkan pada sebuah bejana bernama Daksina atau Pejati. Daksina atau Pejati yang fungsinya sama dengan Garbhapatra pada jaman candi hanyalah sebuah wadah untuk menempatkan benda-benda sebagai lambang jasmaniah bagi roh orang yang meninggal dunia. Berkenaan dengan pembahasan tersebut, justru pada candi Singosari tidak ditemukan kotak peti batu (Garbhapatra) tempat penyimpanan peripih. Keanehannya lagi bahwa “candi Singosari tidak memiliki sumuran tempat menyimpan peti batu tersebut” (Blom, 1985:17).
Berdasarkan uraian di atas fungsi candi Singosari tidak dapat dikatakan sebagai tempat makam raja Kertanegara dalam arti sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya. Juga tidak dapat dikatakan sebagai tempat pendharmaan dari raja yang meninggal dunia. Apabila sebuah bangunan suci bukan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur yang diperdewakan (sistem dewaraja), maka fungsinya tentu lebih diperuntukkan bagi Siwa sendiri sebagai dewa tertinggi (Paramasiwa) penguasa Meru. Apakah sebagai Palladium terhadap Dewa Siwa, maupun sebagai Yantra yang bersifat magis mistis bagi Siwa yang menjelma ke dunia sebagai raja (raja sebagai titisan dewa di dunia) (Soekmono, 1974: 192-196). Oleh karena itu candi Singosari lebih tepat dikatakan sebagai candi Negara atau candi Kerajaan, artinya candi yang dibangun sebagai inti atau pusat kekuatan magis kerajaan. Sebagai Palladium, candi Singosari merupakan miniatur dari cosmis axis. Sebagai Yantra, candi Singosari dipuja guna kelangsungan kekuatan magis protektif bagi kekuasaan kerajaan. Dari sebab fungsinya yang demikian itulah mudah kiranya dipahami, mengapa candi Singosari dibangun dengan struktur soubasement mirip Yoni, badan candi yang ramping tanpa ruang induk tetapi memiliki keempat relung, serta puncak-puncak yang menjulang tinggi. Sehingga strukturnya berlainan dengan struktur arsitektur candi pendharmaan pada umumnya.
Sebagaimana kebiasan yang terdapat di Asia Tenggara dan Jawa, konsep negara sebagai lambang sentral dari alam semesta merupakan sebuah ciri yang khas. Robert Heine Geldern dalam bahasannya tentang konsep negara di Asia Tenggara menyatakan bahwa “sebagaimana jagat raya, menurut cita pikiran kepercayaan Hindu dan Budha, berpusat kepada gunung Meru. Maka jagat kecil tadi yaitu kerajaan, haruslah mempunyai gunung Meru pula sebagai pusat ibu kotanya. Kalaupun bukan akan menjadi pusat geografis dari kerajaan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya gunung Meru di ibu kota ini akan menjadi pusat magisnya”(Geldern, 1982:7). Mereka percaya bahwa dewa-dewa utama agama Hindu tinggal di pusat dunia, di gunung Meru yang suci, serta menguasai ruang dan waktu. Oleh karenanya candi yang secara teoritis terletak di pusat kota, dekat dengan istana raja, dimaksudkan agar dapat mengngkapkan dengan lebih meyakinkan bahwa secara konkret istana adalah pusat alam semesta, tempat memerintah dewa dan wakilnya di dunia, yaitu raja (Groslier, 2002:102). Dengan demikian bahwa dengan adanya gunung Meru itu ibu kota kerajaan selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat magis bagi wilayah kerajaannya.
Budaya Asia tenggara daratan dan Jawa tentang konsep Meru sebagai pusat magis bukanlah suatu hal yang perlu diragukan. Dalam perjalanan sejarah antara Asia Tenggara dan Nusantara, keduanya merupakan daerah yang saling berhubungan. “Jaman dinasti Sailendra berkuasa di Jawa Tengah, terdapat hubungan dengan Asia Tenggara (Khmer). Raja Khmer, Jayawarman II disebut-sebut pernah menetap di Jawa ketika kerajaannya kacau. Ia pulang kembali ke Khmer sekitar tahun 790M” (Groslier, 2002:124).
“Pada jaman kerajaan Singasari disebutkan bahwa raja Campa beristrikan putri dari Jawa. Petunjuk itu terdapat pada prasasti Po Sah tahun 1306M bahwa raja Campa mengawini putri dari Jawa bernama Tapasi”(Hall, 1988:178; Poesponegoro, 1984:414). Tahun 1306M merupakan tahun terdekat dengan hancurnya masa pemerintahan raja Kertanegara. Dengan demikian persamaan budaya antara Asia Tenggara (Campa) dengan Jawa (Singosari) tidak disangsikan lagi disebabkan adanya hubungan antara kedua kerajaan.
Menarik perhatian pula terhadap konsep Meru pada candi Singosari sebagai tempat tinggal dewa tertinggi. Dewa tertinggi dalam aliran ini adalah Siwa sebagai Paramasiwa. Penentuan Siwa sebagai dewa tertinggi (Paramasiwa) diisyaratkan pada struktur bangunan candinya. Struktur bangunan candi Singosari sepertinya dibuat atas dasar aliran tertentu dari agama Hindu, yaitu aliran Siwa Sidhanta.
Dalam sistem kedewaan aliran Siwa Sidhanta, alam ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu yang pertama alam Niskala (tak berwujud) yang merupakan tempat Paramasiwa bersemayam. Kedudukannya di alam atas. Alam Niskala merupakan alam tidak berwujud, tidak dapat dibayangkan tetapi ada. Pada bagian candi diwakili oleh puncak.
Yang kedua adalah alam Sakala Niskala (alam wujud tak berwujud). Alam ini merupakan alam antara yang diduduki oleh Sadasiwa dengan 4 aspeknya yang semuanya merupakan penjelmaan Siwa juga. Mereka itu adalah Siwa (di barat), Wisnu (di utara), Maheswara (di timur), dan Brahma (di selatan). Yang ketiga adalah alam Sakala (alam wujud), yaitu bagian kaki candi yang dikuasai Maheswara dengan segala aspeknya (Pott dalam Soekmono, 1974:206).
Konsep pembagian alam kedewaan tersebut tampak menonjol pada struktur candi Singosari. Puncak candi yang menjulang merupakan lambang alam Niskala yang dikuasai oleh Paramasiwa. Badan candi mewakili alam Sakala-Niskala dikuasai oleh Sadasiwa dengan keempat aspeknya. Secara teknis keempat aspek dari Sadasiwa tersebut ditunjukkan oleh adanya empat relung yang terdapat di badan candi yang menghadap ke penjuru mata angin pusat sebagai tempat Maheswara (timur), Brahma (selatan), Siwa (barat), dan Wisnu (utara). Sedangkan kaki candi sebagai lambang Sakala merupakan tempat bersemayam Maheswara yang aspeknya adalah Siwa Rudra-Wisnu-Brahma yang disatukan dalam wujud ‘Lingga’.
Walaupun dalam kenyataannya keempat relung tersebut tidak berarca, namun relung tersebut sudah mewakili sebagai tempat dari aspek Sadasiwa. Relung pada badan candi yang merupakan lambang alam Sakala-Niskala dibuktikan secara teknis oleh struktur bangunan secara keseluruhan. Yaitu, apabila bangunan candi Singosari itu utuh, maka relung- relung pada badan candi akan tertutup oleh puncak-puncak bangunan penampil di depannya. Apabila dipandang secara perspektif, maka relung-relung tersebut tidak tampak. Akan tetapi kalau dilihat dengan posisi menyerong, maka relung-relung itu akan tampak sebagian. Diduga itulah makna dari alam Sakala-Niskala (sekali-kali tampak dan sekali-kali tidak tampak) yang terdapat pada konsep bangunan candi Singosari. Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan keagamaan candi Singosari tersebut adalah Hindu aliran Siwa Sidhanta yang sangat dekat dengan Tantrisme. Dengan demikian jelas bahwa tidak terdapat unsur Budhis dalam struktur candi Singosari sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh Stutteirheim.

0 komentar:

Posting Komentar